Persaudaraan Anak Rantau

Oleh: Fortunata Teniwut
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Merantau dari Maluku ke Jogja bukan hanya tentang mengejar pendidikan, tapi juga tentang belajar menjadi kuat di tanah orang. Jauh dari keluarga membuatku sadar bahwa hidup akan selalu menemukan jalannya terutama lewat orang-orang baik yang datang sebagai teman, lalu menjadi saudara.

Di Jogja, aku tinggal bersama teman-teman dari berbagai daerah. Ada yang dari Kalimantan dengan logat khasnya yang hangat dan ramah. Ada juga teman asli Jogja yang sabar menjelaskan jalan dan kebiasaan masyarakat lokal. Lalu, ada pula dari Wonogiri yang tak pernah pelit berbagi makanan khas dan cerita lucu dari kampung halamannya.

Kami datang dari latar belakang berbeda. Namun, justru itulah yang membuat kami saling belajar. Di ruang kecil kosan kami, kami berbagi lebih dari sekadar tempat tinggal. Kami berbagi rasa rindu terhadap rumah, perjuangan menyelesaikan tugas kuliah, sampai kegelisahan akan masa depan.

Ada malam-malam ketika kami duduk bersama di teras hanya untuk membahas hal sepele. Rasanya hangat. Seolah-olah dunia luar yang kadang terasa kejam menjadi lebih ringan karena kami menjalaninya bersama.

Ada juga saat-saat kami saling menguatkan saat salah satu dari kami jatuh sakit atau saat kabar dari rumah membuat hati gelisah.

Hal kecil seperti berbagi nasi bungkus, meminjamkan charger, hingga saling mengingatkan waktu salat atau deadline tugas menjadi bentuk kasih sayang yang nyata. Dari situ aku belajar bahwa persaudaraan tidak harus sedarah tapi cukup dengan kehadiran yang tulus.

Persaudaraan sesama anak rantau membuatku yakin bahwa keluarga bisa terbentuk dari siapa saja yang hadir dengan hati. Kami mungkin berasal dari pulau yang berbeda, tapi di Jogja, kami bertumbuh bersama menjadi dewasa, menjadi kuat, dan menjadi satu.

Facebook Comments